Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dimana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan. SekolahMenengah Pertama terjawab Menurut teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila? a. kurangnya sarana fisik yang tersedia di masyarakat b. jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak c. agresivitas individu kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan d. kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya Iklan Jawaban ViewKONFLIK DAN KEKERASAN ECOMONIC 201 at State University of Jakarta. 1. Perbedaan konflik dan kekerasan, KONFLIK Hasil proses interaksi sosial yang bersifat KEKERASAN Agresi Berdasarkanteori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dengan demikian, jawaban yang tepat adalah lingkungan fisik yang tidak kondusif. Beri Rating · 0.0 ( 0) Balas Belum menemukan jawaban? Tanya soalmu ke Forum atau langsung diskusikan dengan tutor roboguru plus, yuk agar produk indonesia tidak kalah dengan produk impor kita harus. Mahasiswa/Alumni Universitas Brawijaya12 Mei 2022 1459Jawabannya adalah E. Lingkungan fisik yang tidak kondusif. Berikut penjelasannya ya! Konflik sosial merupakan suatu proses sosial yang terjadi antara individu maupun kelompok dengan pihak lain yang saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Sering kali konflik yang terjadi di masyarakat mengarah pada tindak kekerasan yaitu menimbulkan luka kepada pihak lain baik secara fisik maupun psikis. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan dalam masyarakat. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Di mana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan. Jadi, lingkungan fisik yang tidak kondusif merupakan faktor terjadinya kekerasan dan kekacauan sesuai dengan definisi dari teori lingkungan sosial. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila .... A. agresivitas individu dan kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan B. tidak tercapainya hubungan sosial yang serasi antarindividu C. kekecewaan yang mendalam dari para anggotanya D. jumlah anggota suatu kelompok terlalu banyak E. lingkungan fisik yang tidak kondusifPembahasanBerdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila lingkungan fisik yang tidak E-Jangan lupa komentar & sarannyaEmail nanangnurulhidayat terus OK! 😁 Konflik dan Kekerasan merupakan fenomena sosial yang bisa terjadi pada manusia. Nah di artikel sosiologi kali ini, kita akan membahas tentang teori kekerasan sosial. Yuk kita belajar! — Ketika mendengar tentang kata “konflik dan kekerasan sosial” apa yang ada dipikiranmu? Dalam Sosiologi, bahasan tentang konflik ini tak pernah selesai dibahas. Kita tentu tau, masyarakat gak selalu dalam keadaan harmonis. Sedih ya? Menurutmu apakah konflik itu sangat buruk dan seharusnya tidak pernah terjadi? Jika begitu, mungkin inilah waktu yang tepat buat kita mempelajari konflik secara sosiologis. Seperti yang sudah kita sering lihat di media maupun kehidupan nyata, kekerasan adalah bentuk lanjutan dari konflik sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja. Kekerasan seperti ini disebut juga dengan kekerasan langsung. Baca juga Mengenal Macam-Macam Teori Ketimpangan Sosial Definisi Konflik dan Kekerasan Sosial Apa itu konflik sosial? Secara etimologi atau dari asal katanya, konflik berasal dari bahasa Latin, yaitu configere, yang artinya saling memukul. Tapi kesimpulannya, konflik nggak cuma pukul-pukulan, ya guys! Saling memukul tersebut merupakan ungkapan dari pertentangan atau perselisihan antar pihak-pihak yang berlawanan. Makanya, secara sosiologis, konflik sosial adalah pertentangan yang masing-masing pihak di dalamnya berupaya untuk saling menyingkirkan. Nah, sekarang kita bahas tentang kekerasannya. Konflik sosial yang terus larut tanpa solusi, akan menimbulkan keadaan baru yakni kekerasan. Secara definisi, kekerasan adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau hilangnya nyawa seseorang atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Buntut dari konflik yang tidak terselesaikan yakni terjadinya kekerasan Sumber Brilio Kamu tau ngga, kekerasan itu ternyata nggak hanya dalam tindakan menyakiti fisik orang lain lho, tapi juga meliputi tindakan-tindakan seperti mengekang, mengurangi atau meniadakan hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah, dan meneror orang lain. Jenis kekerasan ini disebut juga dengan kekerasan tidak langsung. Secara sosiologis, kekerasan di lingkup sosial mungkin saja terjadi karena adanya pengabaian norma dan nilai sosial yang berlaku di masyarakat tersebut oleh individu atau suatu kelompok. Melihat perlunya penjelasan ilmiah mengenai kekerasan di masyarakat, beberapa ahli mencetuskan teori mengenai proses terbentuknya kekerasan sosial di masyarakat. Baca juga Pengertian Globalisasi, Karakteristik, dan Prosesnya Macam-Macam Teori Konflik Nah, kita udah tau nih tentang apa itu konflik, dan juga kekerasan. Sekarang kita bahas tentang beberapa teori konflik. Jadi, teori-teori ini, penting banget untuk kita gunakan sebagai cara pandang dalam melihat berbagai kasus konflik yang terjadi di masyarakat. Karena bisa aja beda kasus konflik, teori untuk mengkajinya juga berbeda. Yuk kita bahas! 1. Teori Konflik Karl Marx Pertama, kita akan bahas teori konflik dari pemikiran Karl Marx. Kita tentu tau, bahwa banyak pemikiran Karl Marx didasari atas perbedaan kelas berdasarkan kepemilikan alat produksi atau aspek ekonomi. Begitu juga dengan konflik atau masalah sosial. Menurutnya, salah satu penyebab terbesar dari terjadinya konflik yakni diterapkannya sistem kapitalisme. Dalam sistem ini, kelompok pemilik modal atau borjuis, mengalami konflik melalui ketimpangan yang terjadi dengan kelompok proletar atau buruh. Dalam sistem kapitalisme, kelompok borjuis ingin mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya sehingga memicu pertentangan dari kelompok proletar atau buruh yang menuntut keadilan terhadap upah dan kesejahteraan. Nah disitulah konflik sosial terjadi menurut pandangan Karl Marx. 2. Teori Konflik Gramsci Oke selanjutnya, kita bahas pemikiran dari Antonio Gramsci. Jika dibandingkan dengan Marx, yang fokus konfliknya pada aspek ekonomi, Pak Gramsci berfokus dengan aspek budaya maupun politik atau kekuasaan. Jadi kata Gramsci, konflik sosial dapat terjadi karena adanya suatu hegemoni. Eh tapi, hegemoni itu apa? Jadi, hegemoni adalah kekuasaan yang dijalankan dengan jalan kekerasan untuk membangun sebuah ideolog dan kebudayaani yang diinginkan oleh pihak penguasa. Kalau masih bingung, kita bisa mengambil contoh dari cara kekerasan yang dilakukan Adolf Hitler untuk membangun ideologi fasis di Jerman, atau ideologi komunis yang tidak bisa dihilangkan di Korea Utara karena kekerasan dari pemimpin negaranya. Jadi, kalo orang udah punya hegemoni, ya dia bisa mengatur apapun yang menurutnya ideal. Tapi siapa saja yang bisa menjalankan hegemoni ini? Nah kata Gramsci, hegemoni ini dapat dijalankan oleh beberapa pihak. Baca juga Modernisasi dan Segala Sesuatu Tentangnya Pertama, pihak penguasa. Dari mulai eksekutif, legislatif, sampai angkatan bersenjata atau militer. Pihak yang kedua adalah kelompok masyarakat sipil, seperti kelompok-kelompok organisasi masyarakat atau ormas. Loh, kok masyarakat sipil juga bisa? Nah, kata Gramsci, hal itu memungkinkan dengan adanya kelompok atau ormas dari masyarakat sipil. Pada umumnya, mereka punya peran untuk jadi perantara penguasa untuk memperluas pengaruh kekuasaannya. Ibaratnya, kayak pro sama kekuasaan gitu, dan memusuhi kelompok sipil lain yang kritis terhadap pemerintahan. Kira-kira, kamu bisa ngebayangin hal itu terjadi di hidup kita ngga? Terus gimana cara kita gunakan teori Gramsci ini dalam melihat kasus konflik? Nah, melalui konsep hegemoni Gramsci, kita bisa nih menganalisis kasus konflik yang melibatkan pemerintah dengan rakyatnya. Contohnya kayak kasus pembungkaman kebebasan berpendapat kepada orang-orang yang kritis terhadap kekuasaan. Jadi, lewat hegemoni, si penguasa bisa tuh mempertahankan kekuasaan dengan cara membungkam kebebasan berpendapat atau kritik terhadapnya. Dari hegemoni itulah, konflik sosial bisa menghasilkan ketidakadilan terhadap orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan. 3. Teori Fungsional Konflik Lewis A. Coser Oke, setelah kita bahas teori konflik Marx, dan juga Gramsci, terakhir kita ke teori konflik menurut Lewis A. Coser. Balik lagi nih, kalo misal kita simpulkan bahwa menuntut Pak Marx dan Pak Gramsci menganggap konflik itu rentan banget menghasilkan ketidakadilan, khususnya bagi orang-orang yang gak punya modal atau kekuasaan, menurut Coser, konflik itu dilihat justru punya fungsi bagi masyarakat. Lah kok bisa jadi ada fungsinya? Coba kita pahami dulu ya! Jadi dari pemikiran Pak Coser, teori tersebut dianggap sebagai fungsional konflik. Yaitu, sebuah cara pandang yang melihat bahwa konflik bisa bersifat fungsional tapi bisa juga bersifat disfungsional. Bedanya apa tuh? Oke, bersifat fungsional, artinya konflik bisa memiliki fungsi bagi masyarakat, seperti, memperkuat persatuan kelompok dan juga sebagai alat untuk melawan ketidakadilan sehingga mendorong terjadinya perubahan. Jadi, perlawanan yang dilakukan oleh pihak buruh untuk menuntut keadilan upah sebenarnya punya fungsi nih untuk memperkuat solidaritas di antara kelompok mereka dan juga bisa menjadi upaya untuk menuntut keadilan. Istilahnya kaya, orang-orang jadi bersatu karna punya musuh bersama gitu, guys! Jadi kalau misalnya kita lihat banyak kasus korupsi, dan bakal ditindak tegas oleh penegak hukum, harapannya bisa membawa perubahan baik yakni pemerintah jadi bersih dari praktek korupsi guys, Semoga ya! Amiin,, Sementara itu, konflik menurut Coser juga dianggap memiliki sisi yang disfungsional, atau justru mengganggu keharmonisan di dalam masyarakat. Contohnya, seperti pertentangan antar kelompok supporter bola deh, tentu hal tersebut dalam jangka panjang bisa juga berakibat buruk dalam memecah persatuan di masyarakat. Akibatnya, kita jadi ngerasa nggak aman, kan? Baca juga Pentingnya Memahami Kearifan Lokal dan Karakteristiknya Faktor Penyebab Konflik/Kekerasan Sosial Setelah bahas konflik, kita tentu tahu kan ujungnya dari konflik mengarah kemana. Yap betul, kekerasan. Kekerasan sendiri terjadi karena beberapa faktor yang memengaruhinya. Ada 3 faktor penyebab yakni faktor individual, faktor kelompok, dan dinamika kelompok. Yuk simak masing-masing penjelasannya! 1. Faktor Individual Perilaku agresif seseorang dapat menyebabkan timbulnya kekerasan. Faktor penyebab perilaku kekerasan menurut teori ini adalah faktor pribadi dan faktor sosial. Faktor pribadi yaitu meliputi kelainan jiwa, seperti psikopat, stres, depresi, serta pengaruh obat bius. Sedangkan faktor yang bersifat sosial antara lain seperti konflik rumah tangga, faktor budaya, dan media massa. Faktor individual yakni dari kepribadian individu yang gampang emosian, bisa memicu terjadinya kekerasan ya guys! Sumber Brilio 2. Faktor Kelompok Menurut teori ini, individu cenderung membentuk kelompok dengan memprioritaskan identitas berdasarkan persamaan ras, agama, atau etnis. Identitas kelompok yang cenderung dibawa ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain ini rawan menyebabkan benturan antara identitas kelompok yang berbeda dan kemudian menjadi penyebab kekerasan. Contohnya ada pada perkelahian antar pendukung klub bola saat pertandingan di stadion. Selain itu, ada juga kekerasan berbau rasial yang terjadi di Afrika Selatan dan Amerika Serikat pada orang kulit hitam, serta di Indonesia pada kerusuhan Mei 98, yaitu kekerasan terhadap kelompok etnis Tionghoa. Baca Juga Bentuk Konflik dan Kekerasan di Masyarakat 3. Faktor Dinamika Kelompok Kekerasan dapat timbul karena hilangnya rasa saling memiliki yang terjadi dalam kelompok. Hal ini dapat diartikan bahwa perubahan-perubahan sosial terjadi sedemikian cepat dalam sebuah masyarakat dan tidak mampu direspon sama cepatnya oleh sistem sosial dan nilai masyarakatnya. Contohnya bisa dilihat dari masuknya perusahaan internasional ke wilayah pedalaman Papua yang membawa berbagai teknologi, perilaku, hingga tata nilai yang berbeda. Hal ini menyebabkan masyarakat setempat merasa terasing dan muncullah kehilangan rasa memiliki yang berakhir dengan perlawanan kekuasaan. — Gimana sekarang, sudah mulai paham kan konflik dan kekerasan sosial? Mau belajar Sosiologi lebih detail lagi? Atau ingin belajar materi lainnya? Yuk langsung diskusi bareng dengan tutor yang andal dan gabung dengan grup belajar dari teman-teman di seluruh Indonesia hanya di Brain Academy Online! Referensi Wrahatnala, Bondet. 2009. Sosiologi 2 Untuk SMA/MA Kelas XI. Jakarta Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional Sumber Foto Foto Kerusuhan Suporter Bola’ [daring] Tautan Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Handri Ayu Diah Mustika & Ahmad Gimmy Program Studi Magister Psikologi Profesi, Fakultas Psikologi, Universitas Padjadjaran. Dewasa ini marak diberitakan terjadinya kekerasan seksual di berbagai daerah di Indonesia. Angka pelaporan kasus kekerasan seksual juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan Catatan Tahunan Komnas Perempuan CATAHU 2023 terjadi peningkatan pengaduan kepada Komnas Perempuan terkait kekerasan berbasis gender, dari kasus pada 2021 menjadi kasus pada 2022. Rinciannya yaitu kasus kekerasan di ranah personal, kasus di ranah publik, dan 68 kasus di ranah negara Komnas Perempuan, 2023. Kasus kekerasan seksual di Indonesia dapat diintegralkan seperti fenomena gunung es. Masalah perlindungan dan pelaporan kasus kekerasan seksual yang ditangani dan didukung hanya terlihat sedikit pada permukaan saja sedangkan masih banyak kasus yang tidak terlaporkan. Hal ini menyebabkan penyintas kekerasan seksual tidak mendapatkan penanganan yang optimal sebagaimana sejalan dengan catatan tahunan yang digaungkan oleh Komnas Perempuan pada Maret 2023 lalu dengan tajuk "Kekerasan Terhadap Perempuan di Ranah Publik dan Negara Minim Perlindungan dan Pemulihan". Penyintas kekerasan seksual di Indonesia cenderung bungkam karena rasa malu, tekanan sosial, ancaman dari pelaku, relasi kuasa, dan ketidak tahuan untuk melapor Trihastuti & Nuqul, 2020. Korban juga cenderung memilih menghindari konflik atau konsekuensi yang akan muncul dengan melaporkan kasus secara hukum Artaria, 2012. Selain itu, tidak mengetahui alur pelaporan kasus dan perlindungan hukum juga berpengaruh pada pertimbangan untuk melaporkan kasus Fisher, Cullen & Turner., 2000. Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia membuat tindak pidana kekerasan seksual menjadi fokus pembahasan terkait penyelesaian perkara, baik di tingkat peradilan maupun dalam proses pemulihan kembali pihak yang menjadi korban. Pemulihan yang dimaksud adalah jaminan dalam segi fisik, mental, dan faktor lain dari dampak kekerasan seksual yang dialami oleh korban. Tindak pidana kekerasan seksual khususnya pemerkosaan diatur dalam pasal 285 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang berbunyi "Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan isterinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun".Adapun dampak yang dirasakan oleh korban kekerasan seksual bukan hanya dalam aspek fisik melainkan juga dampak psikologis yang mana korban berpotensi mengalami depresi, stress, serta trauma yang berpeluang berlangsung dalam waktu lama, dan semakin memburuk apabila tidak segera ditangani Tangahu, 2015. Sedangkan dalam aspek hukum pidana, formulasi bentuk tindakan kekerasan seksual membawa konsekuensi yuridis di dalam pembuktiannya. Korban sebagai pihak yang dirugikan juga memiliki peran sebagai saksi yang sangat dibutuhkan hakim untuk menilai kesalahan pelaku dalam proses pembuktian perkara dalam kondisi korban mengalami tekanan psikologis akibat dari peristiwa traumatis yang dialaminya. Oleh karena itu dibutuhkan investigasi pakar psikolog forensic untuk memeriksa dengan saksama sebagai bahan penyidikan baik dalam kepolisian maupun persidangan. Hal tersebut diperkuat dengan jelas oleh Fulero dan Wrightsman 2009 yang memandang psikologi forensik sebagai pengaplikasian dari teori, metode, dan penelitian psikologi yang berusaha diimplementasikan dalam sistem hukum. Psikologi forensik juga merupakan usaha pemanfaatan layanan psikologi terintegrasi dengan sistem hukum untuk menjamin adanya rasa keadilan sesuai dengan undang-undang yang sudah ditetapkan. Sistem hukum yang dimaksud mencakup tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembelaan vonis, eksekusi vonis hingga upaya prevensi, dan rehabilitasi. Maka dari itu peran psikolog forensik dirasa penting dalam proses tindak pidana kekerasan seksual. Semakin banyak permasalahan di masyarakat yang menuntut peran psikologi forensik untuk memberikan sumbangan penyelesaian di satu pihak, sedangkan pada pihak lain pengembangan psikologi forensik dirasa masih lambat di Indonesia. Meskipun memiliki peran yang sangat penting tetapi ruang gerak psikolog forensik sendiri masih sangat terbatas. Ketua APSIFOR, Dra. Reni Kusumawardani, Psikolog, mengatakan bahwa jumlah anggota asosiasi psikolog forensik juga masih sangat terbatas dibandingkan dengan jumlah kasus kriminalitas hukum yang terjadi di Indonesia. Selain itu psikolog forensik tidak memiliki kewenangan untuk terjun langsung dalam menangani kasus apabila tidak diundang oleh aparat hukum yang berwenang. Peran psikolog forensik dalam penegakan hukum juga masih dianggap belum maksimal Sopyani & Edwina, 2021. Maka dari itu optimalisasi peran psikolog forensik dalam penanganan kasus hukum tindak pidana kekerasan seksual di Indonesia dinilai sangat dibutuhkan untuk menjawab kekhawatiran yang ada di masyarakat mengingat perannya yang sangat penting dalam upaya perlindungan, penanganan, pendampingan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. 1 2 Lihat Humaniora Selengkapnya Hallo kak Dian, kakak bantu jawab ya ! Jawabannya adalah E. Lingkungan fisik yang tidak kondusif Yuk, simak pembahasan berikut ! Konflik sosial merupakan suatu proses sosial yang terjadi antara individu maupun kelompok dengan pihak lain yang saling menjatuhkan untuk mencapai tujuan masing-masing. Seringkali konflik yang terjadi di masyarakat mengarah pada tindak kekerasan yaitu menimbulkan luka kepada pihak lain baik secara fisik maupun psikis. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan dalam masyarakat. Berdasarkan teori lingkungan sosial, kekerasan atau kekacauan disebabkan karena berawal dari lingkungan fisik yang tidak kondusif. Dimana apabila lingkungan sosial tempat individu atau kelompok masyarakat berada tidak kondusif, bisa menjadi pendorong terjadinya kekerasan. Misalnya seperti terjadi konflik yang berkepanjangan. Terima kasih sudah bertanya dan menggunakan Roboguru, semoga membantu ya

berdasarkan teori lingkungan sosial kekerasan dan kekacauan akan terjadi apabila